Bandar Lampung – (DISKOMINFO), Kita semua insya Allah pernah membaca surah Yâsîn, surah ke-36 dalam urutan mushaf al-Qur’an, atau surah ke-42 dalam urutan waktu turunnya. Sebagian dari kita bahkan mungkin sudah hafal surah itu di luar kepala karena begitu sering membacanya. Dalam surah yang oleh sebagian umat Islam Indonesia dibaca setiap malam Jumat itu terdapat ayat yang berbunyi innâ nahnu nuhyi-l-mawtâ wa naktubu mâ qaddamû wa âtsârahum wa kulla syai’in ahshaynâhu fî imâmin mubîn (ayat 12).
Terjemahan ayat itu kurang lebih demikian: Sungguh Kamilah yang menghidupkan orang-orang mati, dan Kamilah yang menulis apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu telah Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (yakni Lauhul Mahfuzh).
Meski kita sudah sering membacanya, barag kali kita belum tahu benar ayat ini berbicara tentang apa. Ayat ini menjelaskan bahwa bukan hanya amal manusia semasa ia hidup saja yang dicatat oleh Allah, tetapi bekas-bekas (yakni peninggalan-peninggalan amal baiknya) setelah ia meninggal dunia juga akan terus dicatat. Pahalanya mengalir terus sampai jauh, sampai hari Kiamat. Amal apakah itu? Itulah amal-amal baik yang dijelaskan di dalam sebuah hadits Nabi saw. yang meliputi sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan keturunan yang saleh yang selalu mendoakan orangtuanya (seperti disebut dalam hadits riwayat at-Tirmidzi)
Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal dunia pahala amal baiknya masih terus mengalir? Itulah salah satu bentuk rahmat dan kemurahan Allah kepada umat Nabi Muhammad saw. Kasih sayang Allah kepada umat Nabi terakhir ini memang sungguh luar biasa. Betapa tidak? Kita shalat hanya lima kali sehari tapi pahalanya sama dengan shalat lima puluh kali. Kita berpuasa hanya satu bulan ditambah enam hari, tapi pahalanya sama dengan puasa satu tahun. Kita melakukan ibadah umrah pada bulan Ramadhan, pahalanya sama dengan ibadah haji. Jika kita melakukan dosa, kita tidak langsung disiksa, tetapi masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan bertobat. Dan lain-lain. Sungguh sebuah karunia dan nikmat yang amat patut kita syukuri! Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahmân [55]: 13).
Seperti telah kita ketahui sebelumnya, umat-umat nabi sebelum Nabi Muhammad saw. banyak yang ditakdirkan berumur panjang. Sebagai contoh, Nabi Nuh as. sendiri berumur 905 tahun (dapat kita baca pada surah al-‘Ankabût [29]: 14). Sementara, umur rata-rata umat Islam hanya 60 sampai 70 tahun. Tetapi, walaupun umur kita relatif lebih pendek dibandingkan umur manusia-manusia sebelum Islam, Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk memiliki amal baik, amal saleh, yang pahalanya tidak kalah dengan mereka yang berumur ratusan tahun. Bahkan bisa lebih banyak dari mereka. Lalu, dengan apa kita bisa mencapai pahala sebanyak itu? Salah satunya adalah dengan berwakaf. Dengan berwakaf, kita seolah-olah berumur ratusan tahun seperti mereka. Subhanallah! Maka nikmat Allah yang mana yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahman [55]: 16).
Sahabat-sahabat Nabi saw. banyak yang telah melakukan wakaf. Tanah lokasi Masjid Nabawi saat ini (dahulu tentu saja tidak seluas sekarang) dulunya adalah milik anak keturunan seorang bernama An-Najjâr. Ketika Nabi bermaksud membayar tanah itu untuk dibangun masjid di atasnya, mereka menolak dan malah memilih untuk mewakafkannya lillâhi ta‘âlâ. Ada juga sahabat yang mewakafkan kebunnya yang setelah perluasan Masjid Nabawi kebun itu kini menjadi bagian dari Masjid Nabawi. Ada juga yang mewakafkan sumur di dekat Masjid Nabawi untuk kepentingan air minum umat Islam yang lokasinya kini juga sudah menjadi bagian dari Masjid Nabawi. Mereka semua telah meninggal dunia lebih dari 1.400 tahun yang lalu, tetapi mereka seolah-olah masih hidup dan masih berbuat baik, karena tanah yang mereka wakafkan masih terus dimanfaatkan oleh umat Islam sampai sekarang, bahkan sampai hari Kiamat nanti. Pahalanya pun terus mengalir deras.
Di dunia pendidikan, sejarah Islam juga mencatat cukup banyak lembaga pendidikan yang lahir dan berkembang dari wakaf. Universitas Al-Azhar di Mesir, untuk sekadar menyebut contoh, adalah salah satunya. Beasiswa yang diberikan Al-Azhar kepada mahasiswanya yang datang dari berbagai penjuru dunia selama lebih dari seribu tahun, termasuk logistik makanan bagi mahasiswa yang tinggal di dalam asrama dan gaji karyawan, adalah dari hasil pengembangan dan pemberdayaan wakaf dengan berbagai bentuknya (wakaf tanah, wakaf kebun, bahkan juga wakaf tunai).
Al-Azhar memang begitu menonjol dengan keluasan harta wakafnya. Kelebihan Al-Azhar ini kemudian ditiru oleh salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia, Gontor. Gontor saat ini menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam terkemuka di Indonesia yang memiliki tanah wakaf lebih dari 185 hektare dengan berbagai bentuknya (kebun, sawah, tanah kering, dan sebagainya). Meski belum bisa memberi beasiswa sebanyak Al-Azhar, tetapi biaya pendidikan di Gontor relatif bisa ditekan sedemikian rupa berkat pemanfaatan dan pengembangan harta wakaf.
Orang-orang yang telah mewakafkan hartanya untuk kepentingan pendidikan di Al-Azhar maupun di Gontor, sudah lama meninggal dunia. Tetapi mereka seolah-olah masih hidup dan masih beramal saleh karena pahala wakaf mereka masih terus mengalir. Pertanyaannya: bisakah kita mengikuti jejak mereka? Insya Allah, bisa. Tetapi maukah kita mengikuti jejak mereka? Ini yang mungkin jadi persoalan. Soal kemauan.
Untuk berwakaf, sebenarnya kita tidak perlu menunggu jadi orang kaya dulu. Sebab kalau kita menunggu jadi orang kaya dulu, jangan-jangan nanti sebelum jadi kaya kita sudah mati. Kita harus ingat, umur umat Nabi Muhammad saw. relatif pendek! Jangan sampai kita kehilanglah kesempatan itu!
Untuk berwakaf juga tidak harus dengan tanah sekian hektare. Kita bisa berwakaf dengan buku bacaan. Selama buku itu dibaca dan dimanfaatkan ilmunya oleh orang banyak kita masih terus mendapat pahalanya. Kita juga bisa berwakaf mushaf al-Qur’an. Selama mushaf al-Qur’an itu belum rusak dan dibaca orang, selama itu pula kita masih terus mendapat pahalanya. Hanya saja, yang agak memprihatinkan, banyak mushaf al-Qur’an yang diwakafkan orang di sejumlah masjid dibiarkan berdebu begitu saja tanpa dibaca, apalagi dikaji, oleh jamaahnya.
Kita juga bisa berwakaf dengan uang. Wakaf dengan uang ini disebut dengan istilah ‘wakaf tunai’. Hukumnya? Boleh. Badan Wakaf Indonesia (BWI) juga dewasa ini sedang mengembangkan jenis wakaf tunai.
Untuk berwakaf tunai pun tidak harus menunggu punya uang puluhan atau ratusan juta rupiah. Puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah pun sudah bisa. Dan insya Allah pahalanya tidak kalah dibandingkan dengan yang ratusan juta, jika yang sedikit itu kita landasi dengan keikhlasan yang setulus-tulusnya karena mengharap ridha Allah. Memang, idealnya kita ingin berwakaf dalam jumlah besar dan sekaligus kita lakukan dengan penuh ikhlas. Tapi kalau kita harus memilih antara berwakaf dalam jumlah banyak tetapi tidak “berkualitas” atau sedikit tetapi “berkualitas”, kita tentu memilih yang berkualitas walaupun jumlahnya sedikit. Allah tidak memandang jumlah, tetapi lebih memandang ketulusan hati kita.
Keikhlasan pewakaf dan mutu pendidikan
Dalam dunia pendidikan Islam, hubungan belajar-mengajar antara guru-murid pada hakikatnya lebih merupakan “hubungan batin” atau “hubungan rohani” daripada sekadar “hubungan fisik” atau “hubungan materi”. Banyak sekali keberhasilan murid-murid atau santri-santri dalam membangun masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh doa tulus sang guru atau kyainya, di samping doa orangtuanya, ketimbang oleh kecerdasan otaknya.
Dalam bentuknya yang lain, lembaga-lembaga pendidikan yang mengembangkan wakaf dengan niat tulus para pewakaf dan tenaga-tenaga pengajarnya, biasanya lebih eksis, lebih langgeng, dan lebih berhasil daripada lembaga pendidikan yang lebih menekankan sisi komersialnya. Al-Azhar di Mesir yang berusia 1.000 tahun lebih adalah salah satu bukti nyatanya. Pesantren-pesantren di Indonesia yang didirikan di atas tanah wakaf dan dikelola dengan manajemen yang baik, adalah bukti lain. Jadi, tidak berlebihan kalau langkah perbaikan pendidikan Islam kita mulai dari wakaf.
Wallahu a’lam.
Muhammad Arifin
Sumber : www.muhammadarifin.net
0 Response to "WAKAF DAN PENDIDIKAN"
Post a Comment