Hidayatullah.or.id – Dai Hidayatullah yang berada di bawah koordinasi Pimpinan Daerah (PD) Hidayatullah Mamuju Tengah menembus wilayah minoritas bernama Dusun Rio yang penduduknya 100 persen Muslim namun namun masih rentan mengalami pendangkalan aqidah. Hidayatullah menembus daerah ini guna menyampaikan amanah wakaf Qur’an dari umat.
Dusun Rio yang berada di desa Bone Marawa yang berada sekitar 30 kilometer dari kota Kecamatan Rio Pakava ke arah tenggara dan berbatasan dengan hutan lindung itu tidak seperti layaknya dusun kebanyakan.
Dari ibukota kecataman menuju dusun ini bisa menghabiskan waktu hingga 3 jam. Sepeda motor yang sudah dirancang khusus atau mobil double handle pun hanya bisa sampai di ujung dusun Lalundu 6. Selebihnya harus gerak jalan.
Jalan kaki diawali dengan lintasan jembatan gantung pertama, yang baru kali pertama mungkin bisa membuat bergidik serem sambil menikmati pemandangan hutan yang memisah dusun Rio dengan desa Bone Marawa.
Selesai tantangan pertama, selanjutnya menyusuri derasnya sungai kecil berbatu di lembah dengan rimbunan hutan yang masih asli. Tetapi melintasi jembatan gantung kedua setelah melalui sungai kecil dan jalan mendaki yang terjal akan menjadi pelengkap amal jariyah dai yang bertugas di wilayah suku Tado ini.
Jembatan gantung ini terbuat dari selembar papan yang sudah tidak utuh lagi, diikat kawat seperlunya terbentang sepanjang 40 meter dan menggantung di atas derasnya sungai pegunungan seolah menjadi syarat untuk setiap pengunjung atau warga yang akan masuk ke dusun Rio.
Pemerintah melalui program transmigrasi sosial, membuatkan rumah sebanyak 50 buah di dusun ini, namun karena penduduknya yang sebelumnya perambah hutan dan berpindah-pindah alias nodamen, akhirnya mereka kini lebih suka kembali ke kebun-kebun mereka dan menetap di sana.
Kini tinggal 24 warga yang mendiami rumah pemukiman, sebagian besar tidak bisa berbahasa Indonesia. Tentunya kondisi ini menyulitkan kami berkomunikasi kecuali saat ada warga yang memahami percakapan ini, itupun dengan dialeg yang belum akrab di telinga kami.
Butuh kesabaran mengajarkan Al-Qur’an di dusun yang dikelilingi bukit tinggi ini. Selain belum mampu baca tulis Qur’an, rata-rata warganya tuna aksara.
“Saat berkunjung ke dusun ini, kami hanya mendapati dua anak kecil di dusun ini. Selebihnya anak-anak lain bersama-sama membantu menanam padi gunung di kebun seorang guru sekolahnya,” kata Ketua PD Hidayatullah Mamuju Tengah yang juga kontributor portal nasional Hidayatullah.com, Muhammad Bashori, yang melaporkan langsung perjalanannya ke media ini melalui surat elektronik, Rabu kemarin.
Menurut pengakuan salah seorang wali murid di dusun Rio, sudah tiga bulan anak-anak mereka tidak sekolah tanpa memberikan alasan yang jelas. Bahkan sudah dua Jum’at terakhir mereka harus shalat Dhuhur di rumah masing-masing karena seseorang yang mereka angkat sebagai imam yang juga khatib harus bermalam di lahannya menunggui tanaman dari gangguan hama dan hewan liar.
Sebenarnya beberapa upaya peningkatan ekonomi sudah mulai berjalan, di antaranya kelompok ternak kambing. Meski menemui jalan buntu untuk pemasarannya yang terkendala jarak dan transportasi.
“Dakwah di pedalaman seperti ini memang dibutuhkan dai yang mampu dari segala hal, fisik, mental spiritual ataupun secara ekonomi,” ungkap Abdy Roziqin, dai yang menetap di Desa Pantolobete.
Roziqin mengisahkan kalau ia akan khutbah di pedalaman-pedalaman, harus berangkat di awal pagi. Selain membutuhkan waktu yang lama untuk menjangkaunya, sebelum memasuki shalat Ju’mat harus keliling ke semua rumah-rumah penduduk memberikan pengumuman. Talau tidak diberitahu, mereka mengira tidak ada dai yang datang dan memilih shalat dhuhur di rumah masing-masing.
Kondisi Dusun Owu yang berada di Desa Pantolobete sedikit berbeda dengan Dusun Rio. Faktor akses jalanan yang sudah terbuka, Owu bersebelahan dengan lokasi transmigrasi yang warganya berasal dari Jawa dan Sulawesi Selatan.
Dari pembauran masyarakat multi adat itu kini Owu mengalami perubahan yang cukup baik. Terbukanya sarana pendidikan dan fasilitas umum serta adanya beberapa warga yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren merupakan pintu gerbang masuknya dakwah Islam.
Sejak adanya program wakaf Qur’an dari Yayasan Wakaf Qur’an Suara Hidayatullah (YWASH) kini kegiatan belajar baca tulis Qur’an dan majelis-majelis taklim mulai aktif meski masih berjalan seadanya.
“Terkadang kami harus datang membawa pakaian-pakaian layak pakai dari kota, atau memborong toko yang sedang mengobral pakaian stok lama untuk dibagikan usai taklim di daerah binaan seperti ini,” papar Roziqin memberikan kiat dakwahnya agar menarik jamaah.
Menurut penuturan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Rio Pakava, Muhammad Halimi, S.Ag., ia bersyukur sejak lima tahun terakhir nuansa dakwah mulai menggeliat. Ditambah dai-dai yang ikhlas berdakwah di sini dan dilengkapi gerakan wakaf Qur’an dari Hidayatullah membuat lengkaplah kesyukurannya.
Meski di wilayah kerjanya sudah ada tiga pesantren yang juga turut memberikan pencerahan ke masyarakat, namun pihaknya masih menaruh harapan besar kepada YWASH untuk melakukan pembinaan di wilayah kecamatan yang diantarai provinsi Sulawesi Barat untuk menuju ke kabupatennya ini.
“Mudah-mudahan kerjasama wakaf Qur’an dengan Hidayatullah ini berlanjut sampai ke program pembinaan,” harap pria asal Demak ini. (bas/hio/ybh)
Dusun Rio yang berada di desa Bone Marawa yang berada sekitar 30 kilometer dari kota Kecamatan Rio Pakava ke arah tenggara dan berbatasan dengan hutan lindung itu tidak seperti layaknya dusun kebanyakan.
Dari ibukota kecataman menuju dusun ini bisa menghabiskan waktu hingga 3 jam. Sepeda motor yang sudah dirancang khusus atau mobil double handle pun hanya bisa sampai di ujung dusun Lalundu 6. Selebihnya harus gerak jalan.
Jalan kaki diawali dengan lintasan jembatan gantung pertama, yang baru kali pertama mungkin bisa membuat bergidik serem sambil menikmati pemandangan hutan yang memisah dusun Rio dengan desa Bone Marawa.
Selesai tantangan pertama, selanjutnya menyusuri derasnya sungai kecil berbatu di lembah dengan rimbunan hutan yang masih asli. Tetapi melintasi jembatan gantung kedua setelah melalui sungai kecil dan jalan mendaki yang terjal akan menjadi pelengkap amal jariyah dai yang bertugas di wilayah suku Tado ini.
Jembatan gantung ini terbuat dari selembar papan yang sudah tidak utuh lagi, diikat kawat seperlunya terbentang sepanjang 40 meter dan menggantung di atas derasnya sungai pegunungan seolah menjadi syarat untuk setiap pengunjung atau warga yang akan masuk ke dusun Rio.
Pemerintah melalui program transmigrasi sosial, membuatkan rumah sebanyak 50 buah di dusun ini, namun karena penduduknya yang sebelumnya perambah hutan dan berpindah-pindah alias nodamen, akhirnya mereka kini lebih suka kembali ke kebun-kebun mereka dan menetap di sana.
Kini tinggal 24 warga yang mendiami rumah pemukiman, sebagian besar tidak bisa berbahasa Indonesia. Tentunya kondisi ini menyulitkan kami berkomunikasi kecuali saat ada warga yang memahami percakapan ini, itupun dengan dialeg yang belum akrab di telinga kami.
Butuh kesabaran mengajarkan Al-Qur’an di dusun yang dikelilingi bukit tinggi ini. Selain belum mampu baca tulis Qur’an, rata-rata warganya tuna aksara.
“Saat berkunjung ke dusun ini, kami hanya mendapati dua anak kecil di dusun ini. Selebihnya anak-anak lain bersama-sama membantu menanam padi gunung di kebun seorang guru sekolahnya,” kata Ketua PD Hidayatullah Mamuju Tengah yang juga kontributor portal nasional Hidayatullah.com, Muhammad Bashori, yang melaporkan langsung perjalanannya ke media ini melalui surat elektronik, Rabu kemarin.
Menurut pengakuan salah seorang wali murid di dusun Rio, sudah tiga bulan anak-anak mereka tidak sekolah tanpa memberikan alasan yang jelas. Bahkan sudah dua Jum’at terakhir mereka harus shalat Dhuhur di rumah masing-masing karena seseorang yang mereka angkat sebagai imam yang juga khatib harus bermalam di lahannya menunggui tanaman dari gangguan hama dan hewan liar.
Sebenarnya beberapa upaya peningkatan ekonomi sudah mulai berjalan, di antaranya kelompok ternak kambing. Meski menemui jalan buntu untuk pemasarannya yang terkendala jarak dan transportasi.
“Dakwah di pedalaman seperti ini memang dibutuhkan dai yang mampu dari segala hal, fisik, mental spiritual ataupun secara ekonomi,” ungkap Abdy Roziqin, dai yang menetap di Desa Pantolobete.
Roziqin mengisahkan kalau ia akan khutbah di pedalaman-pedalaman, harus berangkat di awal pagi. Selain membutuhkan waktu yang lama untuk menjangkaunya, sebelum memasuki shalat Ju’mat harus keliling ke semua rumah-rumah penduduk memberikan pengumuman. Talau tidak diberitahu, mereka mengira tidak ada dai yang datang dan memilih shalat dhuhur di rumah masing-masing.
Kondisi Dusun Owu yang berada di Desa Pantolobete sedikit berbeda dengan Dusun Rio. Faktor akses jalanan yang sudah terbuka, Owu bersebelahan dengan lokasi transmigrasi yang warganya berasal dari Jawa dan Sulawesi Selatan.
Dari pembauran masyarakat multi adat itu kini Owu mengalami perubahan yang cukup baik. Terbukanya sarana pendidikan dan fasilitas umum serta adanya beberapa warga yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren merupakan pintu gerbang masuknya dakwah Islam.
Sejak adanya program wakaf Qur’an dari Yayasan Wakaf Qur’an Suara Hidayatullah (YWASH) kini kegiatan belajar baca tulis Qur’an dan majelis-majelis taklim mulai aktif meski masih berjalan seadanya.
“Terkadang kami harus datang membawa pakaian-pakaian layak pakai dari kota, atau memborong toko yang sedang mengobral pakaian stok lama untuk dibagikan usai taklim di daerah binaan seperti ini,” papar Roziqin memberikan kiat dakwahnya agar menarik jamaah.
Menurut penuturan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Rio Pakava, Muhammad Halimi, S.Ag., ia bersyukur sejak lima tahun terakhir nuansa dakwah mulai menggeliat. Ditambah dai-dai yang ikhlas berdakwah di sini dan dilengkapi gerakan wakaf Qur’an dari Hidayatullah membuat lengkaplah kesyukurannya.
Meski di wilayah kerjanya sudah ada tiga pesantren yang juga turut memberikan pencerahan ke masyarakat, namun pihaknya masih menaruh harapan besar kepada YWASH untuk melakukan pembinaan di wilayah kecamatan yang diantarai provinsi Sulawesi Barat untuk menuju ke kabupatennya ini.
“Mudah-mudahan kerjasama wakaf Qur’an dengan Hidayatullah ini berlanjut sampai ke program pembinaan,” harap pria asal Demak ini. (bas/hio/ybh)
0 Response to "Lewati Medan Sulit, Tembus Bone Marawa untuk Serahkan Wakaf Qur’an"
Post a Comment